Oleh, FAHIROH (NIM : 2190040048)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu,
DR. H.
Teddi Priatna, M. Ag
Dra. Erni Haryanti, MA, Ph.D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2019
FILSAFAT PERENIAL
A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara
substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat. Namun kondisi saat ini, semakin banyak ilmuwan, namun mengapa
berbanding lurus dengan kerusakan alam yang terjadi seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ada hal yang salahkah dengan proses pencarian ilmu
yang kemudian diterapkan dalam proses yang dipergunakan selama ini seperrti
filsafat modernisme, postmodernisme. Filsafat perennial menjadi alternative kembali
setelah sebelumnya sempat tergeser oleh filsafat materialis modernisme,
postmodernisme
B. Pengertian
Secara epistimologis, istilah filsafat
perennial berasal dari Bahasa latin yakni Philosophia Perennis yang arti
harfiahnya adalah filsafat yang abadi. Filsafat perennial adalah kebijaksanaan
abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat abadi[1].
Menyangkut kata ‘abadi’ dalam pengertiannya,
ada dua macam interpretasi yang berbeda. Masing-masing dari keduanya ini bisa
kita wakilkan pada dua tokoh filsafat,
yakni Karl Jaspers dan Charles B. Schmitt. Karl Jaspers tidak menerima filsafat
perennial sebagai suatu system. Jaspers berpendapat bahwa pada dasarnya,
filsafat, apapun bentuk dan jenisnya adalah perennial atau abadi. Filsafat itu
merupakan proses perennial yang tidak tunduk pada perubahan dan aturan
temporal. Filsafat merupakan kontemplasi yang berkelanjutan dan tanpa akhir
terhadap misteri wujud yang eternal yang merupakan satu dan hanya
satu-satunya objek, dimana para pemikir tiap-tiap zaman memberi kontribusi yang
sama-sama valid. Pendapat Jaspers diperkuat oleh James Collins, yang dengan
tegass menolak pemakaian istilah filsafat perennial sebagai proper name dari
suatu system filsafat. Istilah filsafat perennial menurutnya adalah kata sifat,
yakni filsafat yang perennial atau filsafat yang abadi. kebalikan dari jaspers,
Carles B. Schmitt justru menganggap istilah filsafat perennial sebagai suatu
proper name, yakni sebagai nama bagi suatu system filsafat tertentu.[2]
Perenialisme atau juga disebut filsafat
perennial merupakan cabang filsafat yang sangat tua, B. Schmit menyebutkan
bahwa cabang filsafat ini sudah ada sejak zaman para pemikir paling awal. Meskipun
baru pada abad ke- 16 filsafat perennial dipakai sebagai nama system filsafat
ini.
C. Cabang Filsafat Perenial
Aldous Huxley seorang tokoh perenialis
membagi tiga cabang utama filsafat perennial yaitu, Metafisika, Psikologi, dan
Etika. Ketiga bidang ini diberi label purba/primordial serta perennial karena
jejak keberadaan mereka sudah tampak sejak zaman dulu kala (zaman pemikir
awal), yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Metafisika,
psikologi, dan etika yang primordial ini , menurut Huxley, menuntun kita pada
pemahaman dan kesadaran akan eksistensi Allah sebagai ‘The Ground’ atau
‘Dasar’ dunia dan segala isinya.[3]
Adapun
lebih detailnya mengena cabang filsafat perennial , atau yang juga sebagai
konsep dasar filsafat perennial menurut Aldous Huxley,
1.
Metafisika
Yaitu mencoba mengenal realitas ilahi, yang
sangat substansial bagi dunia material, kehidupan dan pikiran.
2.
Psikologi
Yang mencoba menemukan di dalam jiwa
manusia, sesuattu yang mirip, bahkan identic dengan realitas ilahi.
3.
Etika
Yang
menempatkan tujuan atau cita-cita akhir manusia pada pengetahuan akan dasar
semua being (Ground of all beings)[4]
D. Perk,embangan Filsafat Perenial
1.
Masa Keemasan
Bede
Griffits dalaam bukunya menjelaskan bahwa antara abaad ke-6 hingga abad
ke-15merupakan masa kejayaan filsafat perennial. Namun kita cendderung melihat
perkemban filsafat perennial ini hanya dalam kerangka sejarah pemikiran barat
saja. Griffithsmenyebutkan bahwa pekembangan filsafat perennial tidak hanya
terjadi di barat dalam konteks kristianitas saja, melainkan juga terjadi di
wilayah lain di dunia , serta dalam konteks agama lainnya pula. Diakui bahwa
jejak perkembangan filsafat perennial jauh lebiih tampak dalam konteks sejarah
perkembangan intelektual barat. Sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ini
mendapat elaborasi sistematisnya dari para perenialis barat, seperti Agostino
Steuco.
Dalam
masa keemasan ini (yang dalam kronologi sejarah barat dikenal dengan abad
pertengahan) seperti juga dalam zaman masyarakat primitive jauh sebelumnya, doktrin-doktrin filsafat
perennial benar-benar meresapi seluruh pola kehidupanmasyarakat manusia. Salah
satu konsepsi dasar yang dominan adalah bahwa dunia ini dipahami sebagai suatu
keseluruhan yang tunggal[5]
2.
Masa Tenggelam dan
Kebangkitan kembali
Filsafat
perennial yang juga disebut sebagai kebijaksanaan universal karena beberapa
alas an yang kompleks secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang akhir abad
ke-16 seperti yang disebutkan oleh Griffits dalam bukunya The Cosmic
Revelation bahwa salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan
yang pesat dari filsafat materialis yang membawa perubahan radikal terhadap
paradigma hidup dan pemikiran masyarakat manusia zaman itu. Berbeda dengan
perennial yang memandang alam semesta sebagai suatu keseluruhan yang tunggal,
yang diresapi oleh suatu realitas yang transenden, dan yang menemukan
penjelasannya dalam realitas tersebut.
Lambat
laun, filsafat materialis menemukan titik buntunya bahwa, materi bukanlah
segalanya untuk kehidupan manusia. Maka manusia mulai mencari titik kosong dari
kehidupannya yaitu kepada (Tuhan-Nya) yang abadi. Menurut Sayyid Hosein Nasr,
salah seorang perennis Muslim, krisis manusia modern itu berawal dari penolakan
kepercayaan akan ‘sesuatu’ yang bersifat metafisis, Tuhan. Akibat penolakan
itu, kehidupan manusia modern menjadi tidak lagi berada dipusat, melainkan
dipinggiran eksistensi. Penyangkalan atas Tuhan adalah bencana dari kemanusiaan
dibarat.[6] Oleh
karenanya banyak yang kembali berfikir bahwa perennial menjadi solusi dari
materialis modernisme, postmedernisme. Wallahu alam.
[1]
Budhy Munawar-rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, (Jakarta:
Grasindo. 2010). Hlm.160
[2]
Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006) hlm.12
[3]
Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme,hlm.14
[5]
Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme,hlm.17-22
[6] Tedi Priatna, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm.121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar