Sabtu, 21 Desember 2019

Filsafat Perenial



Oleh, FAHIROH (NIM : 2190040048)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu,
DR.  H. Teddi Priatna, M. Ag
Dra. Erni Haryanti, MA, Ph.D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2019

FILSAFAT PERENIAL




A.  Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Namun kondisi saat ini, semakin banyak ilmuwan, namun mengapa berbanding lurus dengan kerusakan alam yang terjadi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada hal yang salahkah dengan proses pencarian ilmu yang kemudian diterapkan dalam proses yang dipergunakan selama ini seperrti filsafat modernisme, postmodernisme. Filsafat perennial menjadi alternative kembali setelah sebelumnya sempat tergeser oleh filsafat materialis modernisme, postmodernisme


B.     Pengertian


Secara epistimologis, istilah filsafat perennial berasal dari Bahasa latin yakni Philosophia Perennis yang arti harfiahnya adalah filsafat yang abadi. Filsafat perennial adalah kebijaksanaan abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat abadi[1].

Menyangkut kata ‘abadi’ dalam pengertiannya, ada dua macam interpretasi yang berbeda. Masing-masing dari keduanya ini bisa kita wakilkan  pada dua tokoh filsafat, yakni Karl Jaspers dan Charles B. Schmitt. Karl Jaspers tidak menerima filsafat perennial sebagai suatu system. Jaspers berpendapat bahwa pada dasarnya, filsafat, apapun bentuk dan jenisnya adalah perennial atau abadi. Filsafat itu merupakan proses perennial yang tidak tunduk pada perubahan dan aturan temporal. Filsafat merupakan kontemplasi yang berkelanjutan dan tanpa akhir terhadap misteri wujud yang eternal yang merupakan satu dan hanya satu-satunya objek, dimana para pemikir tiap-tiap zaman memberi kontribusi yang sama-sama valid. Pendapat Jaspers diperkuat oleh James Collins, yang dengan tegass menolak pemakaian istilah filsafat perennial sebagai proper name dari suatu system filsafat. Istilah filsafat perennial menurutnya adalah kata sifat, yakni filsafat yang perennial atau filsafat yang abadi. kebalikan dari jaspers, Carles B. Schmitt justru menganggap istilah filsafat perennial sebagai suatu proper name, yakni sebagai nama bagi suatu system filsafat tertentu.[2] 

Perenialisme atau juga disebut filsafat perennial merupakan cabang filsafat yang sangat tua, B. Schmit menyebutkan bahwa cabang filsafat ini sudah ada sejak zaman para pemikir paling awal. Meskipun baru pada abad ke- 16 filsafat perennial dipakai sebagai nama system filsafat ini.

C.    Cabang Filsafat Perenial

Aldous Huxley seorang tokoh perenialis membagi tiga cabang utama filsafat perennial yaitu, Metafisika, Psikologi, dan Etika. Ketiga bidang ini diberi label purba/primordial serta perennial karena jejak keberadaan mereka sudah tampak sejak zaman dulu kala (zaman pemikir awal), yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Metafisika, psikologi, dan etika yang primordial ini , menurut Huxley, menuntun kita pada pemahaman dan kesadaran akan eksistensi Allah sebagai ‘The Ground’ atau ‘Dasar’ dunia dan segala isinya.[3]

      Adapun lebih detailnya mengena cabang filsafat perennial , atau yang juga sebagai konsep dasar filsafat perennial menurut Aldous Huxley,

1.      Metafisika

Yaitu mencoba mengenal realitas ilahi, yang sangat substansial bagi dunia material, kehidupan dan pikiran.

2.      Psikologi

Yang mencoba menemukan di dalam jiwa manusia, sesuattu yang mirip, bahkan identic dengan realitas ilahi.

3.      Etika
               Yang menempatkan tujuan atau cita-cita akhir manusia pada pengetahuan akan dasar semua  being (Ground of all beings)[4]

D.    Perk,embangan Filsafat Perenial

1.      Masa Keemasan

Bede Griffits dalaam bukunya menjelaskan bahwa antara abaad ke-6 hingga abad ke-15merupakan masa kejayaan filsafat perennial. Namun kita cendderung melihat perkemban filsafat perennial ini hanya dalam kerangka sejarah pemikiran barat saja. Griffithsmenyebutkan bahwa pekembangan filsafat perennial tidak hanya terjadi di barat dalam konteks kristianitas saja, melainkan juga terjadi di wilayah lain di dunia , serta dalam konteks agama lainnya pula. Diakui bahwa jejak perkembangan filsafat perennial jauh lebiih tampak dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat. Sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi sistematisnya dari para perenialis barat, seperti Agostino Steuco.

Dalam masa keemasan ini (yang dalam kronologi sejarah barat dikenal dengan abad pertengahan) seperti juga dalam zaman masyarakat primitive jauh  sebelumnya, doktrin-doktrin filsafat perennial benar-benar meresapi seluruh pola kehidupanmasyarakat manusia. Salah satu konsepsi dasar yang dominan adalah bahwa dunia ini dipahami sebagai suatu keseluruhan yang tunggal[5]

2.      Masa Tenggelam dan Kebangkitan kembali

Filsafat perennial yang juga disebut sebagai kebijaksanaan universal karena beberapa alas an yang kompleks secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang akhir abad ke-16 seperti yang disebutkan oleh Griffits dalam bukunya The Cosmic Revelation bahwa salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialis yang membawa perubahan radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran masyarakat manusia zaman itu. Berbeda dengan perennial yang memandang alam semesta sebagai suatu keseluruhan yang tunggal, yang diresapi oleh suatu realitas yang transenden, dan yang menemukan penjelasannya dalam realitas tersebut.

Lambat laun, filsafat materialis menemukan titik buntunya bahwa, materi bukanlah segalanya untuk kehidupan manusia. Maka manusia mulai mencari titik kosong dari kehidupannya yaitu kepada (Tuhan-Nya) yang abadi. Menurut Sayyid Hosein Nasr, salah seorang perennis Muslim, krisis manusia modern itu berawal dari penolakan kepercayaan akan ‘sesuatu’ yang bersifat metafisis, Tuhan. Akibat penolakan itu, kehidupan manusia modern menjadi tidak lagi berada dipusat, melainkan dipinggiran eksistensi. Penyangkalan atas Tuhan adalah bencana dari kemanusiaan dibarat.[6] Oleh karenanya banyak yang kembali berfikir bahwa perennial menjadi solusi dari materialis modernisme, postmedernisme. Wallahu alam.







[1] Budhy Munawar-rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, (Jakarta: Grasindo. 2010). Hlm.160
[2] Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm.12
[3] Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme,hlm.14
[4] Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme,hlm.27

[5] Emmanuel Wora, Perenialisme Kriti katas Modernisme dan Postmodernisme,hlm.17-22
[6] Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm.121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar